Pihak Inggris terus mengupayakan negosiasi supaya menjadi jalan terbaik dalam menuntaskan konflik antara pihak Indonesia dengan Belanda dengan perantaraan diplomat Inggris, Lord Killearn. Pada awalnya pertemuan diselenggarakan di Istana Negara dan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Dalam negosiasi itu pihak Indonesia dipimpin Sutan Syabrir dan pihak Belanda oleh Pro. Schermerhorn. Kemudian negosiasi dilanjutkan di Linggarjati. Isi perjanjian Linggarjati:
- Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
- Akan dibuat negara federal dengan nama Indonesia Serikat yang salah satu negara bagiannya yakni Republik Indonesia
- Dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda sebagai kepala uni
- Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Uni Indonesia-Belanda sebelum tanggal 1 Januari 1949
Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 15 November 1946 menerima saingan dari partai-partai politik yang ada di Indonesia. Sementara itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 perihal penambahan anggota KNIP untuk partai besar dan wakil dari tempat luar Jawa. Tujuannya yakni untuk menyempurnakan susunan KNIP. Ternyata saingan itu masih tetap ada, bahkan presiden dan wakil presiden mengancam akan mengundurkan diri apabila usaha-usaha untuk memperoleh persetujuan itu ditolak.
Pengesahan Perjanjian Linggarjati
Akhirnya, KNIP mengesahkan perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Februari 1947, bertempat di Istana Negara Jakarta. Persetujuan itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Apabila ditinjau dari luas wilayah, kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin sempit, namun jikalau dipandang dari segi politik intemasional kedudukan Republik Indonesia bertambah kuat. Hal ini disebabkan lantaran pemerintah Inggris, Amerika Serikat, serta beberapa negara-negara Arab telah memmemberikankan ratifikasi terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Persetujuan itu sangat tidak ringan dan sepele terlaksana, lantaran pihak Belanda menafsirkan lain. Bahkan dijadikan sebagai alasan oleh pihak Belanda untuk mengadakan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Bersamaan dengan Agresi Militer I yang dilakukan oleh pihak Belanda, Republik Indonesia mengirim utusan ke sidang PBB dengan tujuan supaya posisi Indonesia di dunia internasional semakin bertambah kuat. Utusan itu terdiri dari Sutan Svahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Kedatang an utusan tersebut menarik perhatian penerima sidang PBB, oleh lantaran itu Dewan Keamanan PBB memerintahkan supaya dilaksanakan gencatan senjata dengan mengirim komisi jasa baik (goodwill commission) dengan beranggotakan tiga negara. Indonesia mengusulkan Austra-lia, Belanda mengusulkan Belgia, dan kedua negara yang diusulkan itu menunjuk Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Richard C. Kirby dari A.ustralia, Paul van Zeeland dari Belgia, dan Frank Graham dari Amerika Serikat. Di Indonesia, ketiga anggota itu dikenal dan banyak dipakai dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi ini menjadi mediator dalam negosiasi memberikankutnya.
Advertisement